Selasa, 24 Maret 2009

Cerpen Yogyakarta


Seminggu lagi aku akan MENIKAH. Tetapi entahlah, hasratku tak terbendung untuk datang ke sebuah kota yang meninggalkan banyak cerita dalam hidupku, Yogyakarta. Aku terpaksa berbohong pada tunanganku, yang kelak seminggu lagi akan menjadi suamiku, mas Ridwan, aku katakan padanya bahwa temanku Lita telah melahirkan anak keduanya dan aku sebagai teman seperjuangan semasa kuliah dulu ingin sekali berkunjung ketempatnya sebelum melabuhkan hati menjadi seorang istri seminggu lagi.

Sempat kutampik ajakan mas Ridwan untuk menemaniku dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Aku tak ingin dia tau alasanku sebenarnya. Akhirnya dengan menempuh kereta bisnis Senja Jaya aku tiba di stasiun Tugu Yogyakarta sore itu. Aku berdiri menyeka peluh setelah hampir 12 jam duduk melihat pemandangan semasa perjalanan tadi, aku melenggang membawa tas ranselku bergegas menuju Malioboro. Senja saat itu sangat berwarna, langit hampir redup ditelan malam yang menyongsong tiba. Semua alasan itu karena Pratama. Pratama Putra Asykar. Seseorang yang 3 tahun yang lalu pernah menjadi sosok yang sangat berarti bagiku, seseorang yang pernah kuharapkan menjadi pangeran berkuda putihku, seseorang yang dulunya aku pernah labuhkan hatiku padanya, hanya pada lelaki seperti dia. Lelaki tanpa ekspresi, pasif dan tanpa kata. Namun aku sangat cinta padanya, hingga kusingkirkan egoku dan logika yang menguasai separuh hidupku. Lelaki yang mengajarkanku untuk tak larut dalam eksentrika gaya ambisiusku selama ini. Sungguh aku banyak belajar padanya.


Kuterawangkan pandanganku dalam dalam melihat Malioboro di waktu ini, semua masih sama seperti waktu lalu, anganku bermanja dengan keresahan yang mulai kurasakan. Ada apa aku? Kenapa ingin mengulang memori yang sudah mengikis tulusnya hati di masa lalu, dengan lelaki di masa lalu, tanpa tau akan berbuat apa selepas ini. Hampir saja aku melangkah pergi, inginku menyusuri sepanjang jalan itu berharap bisa menyusun potongan potongan kecil gambar aku kala itu, saat cinta memabukkanku dan dirinya. Tapi tiba tiba mas Ridwan telepon; bertanya apa aku sudah mendarat dengan selamat di kota itu, berpesan untuk hati hati terhadap apapun disana, meyakinkan aku bahwa cintanya akan selalu menemani kemana aku berlari, berharap aku pun tak akan menodai rasa yang telah dia semaikan padaku. Aku menyanggupi dengan senyum yang sangat merobek hatiku. Oh Tuhan, tolong maafkan aku, aku telah mengkhianati tulusnya rasa yang dimilikinya… tapi, naluriku begitu kuat mengajakku mengunjungi kota ini, ada pesan tanpa suara yang memaksaku untuk segera datang kesini.


Aku telah kalah… akhirnya aku menjejalkan kakiku memulai menyusuri sepanjang jalan malioboro di senja hari. Tuhan, serpihan serpihan kisah masa lalu bersliweran di depan mataku, tiba tiba aku melihat diriku dengan mas Pratama sedang bergandeng tangan menuju toko batik di ujung jalan sana, aku ingat saat itu dia begitu ingin aku menemaninya untuk membeli baju batik sebagai seragam wajib kantornya di hari jumat. Dan aku, terpaksa membolos kuliah soreku demi menuruti apa yang diinginkannya. Sungguh, sesorean itu aku sesak, anganku dipenuhi cerita tentangnya, tapi dimana dia sekarang? Jangan tanya aku, aku tak tau. Sejak keputusan berpisah tercetus dari mulut kami, setelah lelah berkompromi dalam waktu yang sangat lama, aku dan dia, terpisah jarak diantara dua kota, saat dia diterima bekerja di ujung kota Papua dan aku mesti merantau di Jakarta, tak ada kata lagi, tak ada sentuhan lagi, tak ada tawa lagi. Semua hambar dan akhirnya semua harus dipaksa berakhir. Aku, semula merasa biasa saja sampai akhirnya bertemu dengan mas Ridwan, lelaki muda baik hati yang menjadi atasanku, terlibat proyek bersama hingga akhirnya bunga cinta menguasai hari hari kami berdua, aku terlibat cinta dan cerita dengan nya hingga kupikir aku telah berhasil melupakan sosok seorang Pratama yang sangat sangat berbeda dengan mas Ridwan.


Harusnya aku bahagia, kurang apa tunanganku itu, dia sosok penyayang, romantis dan selalu mengutamakan aku dalam kesegala aktivitasnya sehari hari. Sebagai wanita aku merasa dipuja, aku tersanjung dengan cara dia memperlakukanku. Sedangkan Pratama, sosok pendiam tanpa kata, dia bahkan tak pernah tau bagaimana menyampaikan perasaannya, dia tak pernah menyanjungku, tak pernah aku tau apa yang menjadi keingginannya. Tapi dulu, aku pernah sangat tergila gila padanya. Sosok yang berbeda dimensi dengan sosok tunanganku itu. Entahlah, tepat 10 hari menjelang hari H pernikahanku, aku teringat cinta lamaku, tiba tiba aku sangat ingin mengulang memori lama itu sehingga kuputuskan menuju Yogyakarta, berharap rinduku bisa terobati dan aku kelak tak kan memikirkan hal ini setelah hari sackral itu tiba.
Aku menjatuhkan diri di hotel sekitar daerah Malioboro. Melepas penat yang menyiksa raga dan nuraniku…..
To be continued….

Last Update Of Me

Blogger template 'Purple Mania' by Ourblogtemplates.com 2008

Jump to TOP